JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) GKK pada periode 2011 hingga 2014, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG).
Keputusan ini muncul setelah riset dan investigasi yang mendalam, mengungkap kerugian negara mencapai Rp2,1 triliun akibat tindakan yang kontroversial ini.
Sebagai latar belakang, pada tahun 2012, PT Pertamina (Persero) berkomitmen untuk mengamankan pasokan LNG guna mengatasi defisit gas di Indonesia, yang diperkirakan akan terjadi hingga tahun 2040.
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan PT PLN, industri pupuk, dan industri petrokimia di dalam negeri.
GKK kemudian memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG dari luar negeri, termasuk perusahaan CCL LLC Amerika Serikat.
Namun, keputusan ini diambil tanpa proses kajian yang memadai dan tanpa melaporkannya kepada Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero)
Tidak hanya itu, tindakan ini juga tidak mendapat persetujuan dari pemerintah serta tidak dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dampaknya, seluruh kargo LNG yang dibeli oleh PT Pertamina (Persero) dari CCL LLC Amerika Serikat tidak bisa terserap di pasar domestik.
Ini berujung pada kondisi oversupply, dan akhirnya, kargo LNG harus dijual oleh PT Pertamina (Persero) dengan harga yang merugikan di pasar internasional.
Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sekitar USD140 juta, setara dengan Rp2,1 triliun.
Tindakan GKK tersebut jelas bertentangan dengan sejumlah ketentuan, termasuk Akta Pernyataan Keputusan RUPS tanggal 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina (Persero), Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011, dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/08/2017 tentang Pedoman Kerja Sama BUMN.
KPK menjerat GKK dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bersamaan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pengumuman ini menciptakan kehebohan dalam dunia bisnis dan pemerintahan. Sementara proses hukum terus berlanjut, masyarakat Indonesia menantikan perkembangan lebih lanjut seputar kasus ini.
Keputusan ini menjadi langkah penting dalam memerangi korupsi di sektor energi dan memberikan pesan keras kepada pejabat negara yang tidak bertanggung jawab.***

