JAKARTA – Eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) pada 2011 sampai 2021.
“Tim penyidik melakukan penahanan tersangka GKK alias KA selama 20 hari pertama,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023).
Sebelumnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencegah mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan ke luar negeri. Pencegahan dilakukan atas permintaan KPK.
Sebelum ditahan KPK, Karen merupakan wanita pertama yang menduduki jabatan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014.
Wanita kelahiran Bandung 19 Oktober 1958 ini merupakan lulusan Fakultas Teknik Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978.
Setelah lulus dari ITB, Karen memulai karier di Mobil Oil Indonesia sejak tahun 1984 sampai 1996 sebagai sistem analis dan programmer untuk pengembangan perhitungan cadangan, dan pemimpin proyek departemen komputasi eksplorasi.
Pada tahun 2002-2006, Karen bergabung dengan Halliburton Indonesia.
Halliburton Company adalah sebuah perusahaan multinasional asal Amerika yang merupakan salah satu penyedia jasa ladang minyak terbesar di dunia.
Dari sana ia memulai sepak terjangnya sebagai wanita pertama Indonesia yang direkrut sebagai commercial manager di perusahaan tersebut.
Kariernya di Pertamina dimulai tahun 2006 saat ditunjuk sebagai Staf Ahli Direktur Utama untuk Bisnis Hulu Pertamina tahun 2006.
Dari Staf Ahli, Karen kemudian diangkat menjadi Direktur Pertamina Hulu.
Saat Sofyan Djalil menjabat Menteri BUMN tahun 2009, Karen diangkat sebagai Dirut Pertamina menggantikan Ari Soemarno yang merupakan kakak mantan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Selama menjabat sebagai Direktur Utama perusahaan migas pelat merah ini, Karen pernah masuk dalam jajaran Asia’s 50 Power Businesswomen yang dikeluarkan oleh Forbes pada tahun 2011.
Pada masa jabatannya, Pertamina banyak melakukan akuisisi blok-blok migas di luar negeri seperti Irak dan Aljazair.
Pada tahun 2014, Karen mengundurkan diri dari posisi orang pertama di Pertamina, dan tahun 2019 ia didakwa terlibat dalam kasus korupsi investasi pengeboran minyak Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 yang merugikan negara Rp568 miliar.
Karen divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Setelah ditahan sejak 2019, pada 9 Maret 2020 dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis lepas kepada Karen dengan alasan apa yang dilakukan Karen merupakan risiko bisnis.
Dalam pernyataannya, Eks Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan mengklaim jajaran direksi perusahaan pelat merah tersebut tahu soal pengadaan liquefied natural gas (LNG). Dia membantah bermain sendiri.
“Itu sudah disetujui oleh seluruh direksi secara kolektif kolegial dan secara sah karena ingin melanjutkan apa yang tertuang dalam proyek strategis nasional,” kata Karen kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023).
Tak hanya itu, Karen juga menyebut ada tiga konsultan yang terlibat.
“Ada due diligence (review untuk mencari fakta),” tegasnya.
Selain itu, dia memastikan pemerintah mengetahui proses pengadaan ini. Bahkan, Dahlan Iskan, Menteri BUMN periode 2011-2014 mengetahui dan menyetujui.
“Pak Dahlan tahu, karena Pak Dahlan penanggungjawab,” ujar Karen.
Diberitakan sebelumnya, KPK menyebut pengadaan liquefied natural gas (LNG) oleh PT Pertamina (Persero) sebagai alternatif mengatasi kekurangan gas di Tanah Air tak dikaji. Karen Agustiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina juga tak melaporkan keputusannya ke dewan komisaris.
“GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction) LLC Amerika Serikat tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” kata Firli.
Firli mengungkap pelaporan harusnya dilakukan karena akan dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“Sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” tegasnya.
Karena perbuatannya, Karen membuat negara merugi hingga sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat atau Rp2,1 triliun. Penyebabnya, kargo LNG yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik.
Akibatnya kargo over supply, PT Pertamina membuat penjualan di pasar internasional dengan kondisi rugi. Padahal, komoditas ini juga tak pernah masuk ke Indonesia dan dipergunakan seperti tujuan awalnya.

