JAKARTA, CIN — Sejumlah pakar hukum menilai tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) terkait Cipta Kerja sebagai pelanggaran hukum dan inkonstitusional.
Disarikan dari beberapa penerbitan hari ini, para pakar tersebut antara lain:
Feri Amsari (Universitas Andalas): Tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu terkait Cipta Kerja, inkonstitusional. Pasalnya, kata Feri, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK mengamanatkan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun hingga 25 November 2023 mendatang.
“Ini jelas-jelas langkah inkonstitusional yang ditempuh oleh presiden. Padahal, MK meminta perbaikan dua tahun UU tersebut,” ujar Feri, Jumat (30/12/2022).
Feri menilai, tidak ada kegentingan memaksa sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang bisa dijadikan dalih presiden mengeluarkan Perppu. Alasan dampak perang Rusia-Ukraina sebagaimana disampaikan pemerintah, dinilai tidak relevan.
“Presiden harus cermat dan taat kepada konstitusi bukan mengakalinya dengan berbagai cara untuk pembenaran langkah-langkah politisnya. Jika presiden tak memahami ketatanegaraan, mestinya seluruh lingkaran di sekelilingnya yang tidak paham diberhentikan saja,” ucap Feri.
Refly Harun: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus menolak Perppu tentang Cipta Kerja. Sebab MK mengamanatkan UU Cipta Kerja agar diperbaiki bukan malah mengeluarkan Perppu.
“Walaupun selama ini Perppu merupakan subjektivitas presiden, tetapi harusnya ada ukuran objektif di DPR untuk menolak dan menerima. Demikian pula MK, ada ukuran konstitusionalitasnya untuk membatalkan,” terang Refly.
Dia menilai tak ada kegentingan yang memaksa terkait penerbitan Perppu ini. Pemerintah, lanjut Refly, ingin mau cepat saja.
“Dari namanya, Perppu itu haruslah bersifat ‘kegentingan yang memaksa’. Ini gentingnya di mana? Pemerintah ingin mudahnya saja padahal tidak ada kegentingan apa-apa. Harusnya DPR tolak Perppu itu, kalau tidak MK yang batalkan,” tegas Refly.
Anang Zubaidy (Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia):
“Menurut saya penerbitan perpu ini tidak relevan untuk menyelesaikan problem yuridis yang sudah diputuskan oleh MK,” tegasnya.
Perppu tidak menyelesaikan persoalan formal pada UU Cipta Kerja sebagaimana yang diputuskan MK. UU Cipta Kerja dinilai bermasalah dari sisi pembentukan.
“Sebenarnya putusan MK kemarin menyatakan inkonstitusional bersyarat dari sisi formil, dari sisi pembentukannya. Kalau dari sisi pembentukannya, menurut hemat saya, tidak bisa diselesaikan dengan perppu,” lanjutnya.
Bivitri Susanti: Dua kesalahan Jokowi dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja, dari sisi hukum.
“Ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Paling tidak dari segi hukum ada dua kesalahan,” kata Bivitri, dikutip Bisnis.com, Jumat (30/12/2022).
Sesuai keputusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja itu Inkonstitusional bersyarat untuk dua tahun, artinya, UU Cipta Kerja tidak bisa dilaksanakan, dan tidak punya daya ikat.
Menurut dia. penerbitan Perppu ini justru menunjukan pemerintah yang mengabaikan putusan MK tersebut dan justru melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu. Kedua, lanjut Bivitri, tak ada urgensi untuk menerbitkan Perppu tersebut.
Menurut Bivitri DPR pada masa sidang setelah reses harus membahas dan menolak penerbitan Perppu tersebut.
“Menurut UUD dan UU Pembentukan peraturan per-UU-an, DPR nanti pada masa sidang pertama setelah ini, harus membahasnya dan bisa menolak. Tidak harus menerima,” katanya.
Viktor Santoso Tandiasa (Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU): Presiden Joko Widodo telah melakukan tindakan melawan hukum dan pembangkangan terhadap konstitusi dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
“Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Viktor, dikutip Kompas.com, Jumat (30/12).
Viktor menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik. Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
“Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen,” papar Viktor.
“Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu,” tandasnya.

