JAKARTA –Jurnalisme warga adalah proses menghasilkan informasi yang dilakukan warga biasa untuk peristiwa yang terjadi di sekitarnya di berbagai media. Meski terlihat egaliter dan inklusif, pada kenyataannya praktik jurnalisme warga timpang dan diskriminatif. Artikel ini menunjukkan awal mula perjalanan jurnalisme warga dan apa yang melatarbelakanginya.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pandangan alternatif tentang awal kehadiran jurnalisme warga, baik di dunia maupun di Indonesia. Data diperoleh melalui wawancara dengan pemangku kepentingan yang memahami sejarah awal jurnalisme warga, observasi, dokumen, dan literatur.
Jurnalisme warga adalah praktik yang sudah berlangsung lama, bahkan lebih tua dari jurnalisme itu sendiri. Jurnalisme warga muncul karena kritik jurnalisme profesional yang berpihak pada kepentingan politik tertentu dan terlalu berorientasi pasar; perkembangan teknologi internet; situasi di mana jurnalisme profesional sejak awal tidak dapat dipisahkan dari warga negara; dan motif keuntungan.
Di balik itu semua, kepentingan besar yang membayangkannya adalah jurnalisme itu sendiri (jurnalisme profesional), demokrasi (kebebasan berekspresi dan berpendapat), dan pasar. Ketiganya saling terkait dalam memotivasi hadirnya jurnalisme warga. Kata Kunci: Jurnalis Warga, Jurnalisme Profesional, Demokrasi, Kapital, Konglomerasi Media
Tahun 2004 silam, tepatnya pada tanggal 26 Desember, Cut Putri merekam peristiwa gempa
bumi dan tsunami yang melanda tempat tinggalnya di Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut keterangan waktu dalam rekamannya, saat itu menunjukkan pukul 08.13 WIB. Video yang pernah ditayangkan di Metro TV dan masih bisa diakses di Youtube ini, dimulai dengan penggambaran situasi kekagetan sejumlah anggota keluarganya beberapa saat setelah gempa terjadi. Mereka berkumpul di halaman rumah.
“Aceh memang jalur gempa. Tapi yang tak seperti ini (biasanya),” kata salah seorang pria dalam rekaman itu.
“Mobil goyang entah bagaimana,” suara perempuan terdengar menceritakan apa yang
dilihatnya. Perbincangan seputar gempa yang dirasakan sangat kuat oleh anggota keluarga dan
canda tawa masih mewarnai menit-menit awal rekaman video.
Beberapa menit berselang, video menunjukkan situasi berbeda. Suasana tidak secair sebelumnya, berubah mencekam. Para penghuni rumah sudah berada di lantai dua rumah yang mereka tinggali.
Bunyi jerit histeris bercampur penyebutan nama Tuhan dan gemuruh suara air menjadi latar suara video. Tsunami melanda. Air deras dari laut melesak masuk ke daratan setinggi pohon kelapa dan menghancurkan segala benda yang menghalanginya. Tak tampak lagi jalanan, hanya genangan air tinggi membawa puing-puing. “Pegangan, pegangan, semua!” teriak seorang perempuan dalam rekaman itu.
Lantai satu rumah mereka ikut dipenuhi air. Air masuk bersama puing-puing. Hanya bagian atas tiang-tiang penyangga lantai dua sajalah yang masih terlihat. Perabot rumah mengapung ke sana ke mari mengikuti irama air.
“Maaf lahir batin, Bang…” suara perempuan terisak sedih, memohon, bercampur cemas. Tangisan anggota keluarga lainnya menyusul
terdengar menambah pilu. Video masih menunjukkan betapa dahsyatnya tsunami yang
melanda Aceh saat itu.
Menurut BMKG, gempa yang disusul tsunami tersebut berkekuatan 9,0 SR berpusat di 3,29 LU – 95,98 BT atau 149 km selatan Meulaboh.
Tak hanya di Aceh, bencana tersebut juga melanda Malaysia, Thailand, dan beberapa wilayah lain di kawasan Samudera Hindia. Di Indonesia, terutama Aceh, tsunami tersebut telah merenggut nyawa 166.080 orang. Sebanyak hampir setengah juta jiwa menjadi pengungsi, ribuan bangunan hancur (BMKG, 2018).
Dokumentasi yang dibuat Cut Putri dan sejumlah saksi mata lainnya pada bencana yang menimpa Asia Tenggara dan Timur tersebut, menurut Stuart Allan (dalam Hajek &Stefanikova, 2014), mendorong semakin meluasnya diskusi dan perdebatan mengenai jurnalisme warga di dunia.
Allan mengatakan bahwa pada peristiwa itu warga biasa bisa melakukan apa yang biasanya dilakukan jurnalis, yakni merekam dan melaporkan peristiwa, dengan gayanya yang khas. Memang, saat tsunami Aceh terjadi, infrastruktur rusak parah. Jaringan komunikasi dan akses masuk terputus. Informasi yang diperoleh hanya berasal dari pihak keluarga yang berada di luar lokasi bencana yang mempertanyakan kondisi keluarga mereka.
Dari situlah media melakukan penelusuran dengan mewawancarai segala pihak yang berkepentingan guna melakukan verifikasi informasi. Peliputan media terhalang jalur
transportasi yang terputus itu. Jurnalis dari kantor biro berita terdekat, seperti Medan, harus
mencoba menembus jalur darat agar bisa masuk ke lokasi bencana untuk mendapatkan informasi. Di Jakarta dan Medan, secara bertahap, dengan menumpang pesawat Hercules milik TNI, satu demi satu tim liputan dari berbagai media diberangkatkan. Sehingga tidak heran penggambaran saat peristiwa terjadi didominasi berasal dari dokumentasi warga, seperti yang dilakukan Cut Putri.
Kalaupun ada jurnalis profesional yang memiliki gambar saat peristiwa terjadi, skalanya terbatas karena saat peristiwa mereka juga turut menjadi korban, termasuk juga keluarganya. Kantornya pun hancur diterjang tsunami. Infrastruktur komunikasi yang terputus menghambat penyampaian informasi ke jaringan media di luar Aceh.
Jurnalisme warga adalah praktik produksi dan penyebarluasan informasi yang berasal dari warga biasa yang disampaikan secara khas. Lasica (2003) menyebutnya sebagai model jurnalisme yang mengakomodasi siapapun (masyarakat biasa, bukan jurnalis profesional) untuk menyampaikan informasi atas peristiwa apapun (dan segala hal yang terkait dengan itu)
di berbagai media, termasuk media pers profesional ataupun independen seperti blog. Defenisi lain, jurnalisme warga merupakan praktik yang timpang dan diskriminatif (Eddyono, HT, & Irawanto, 2019). Disebut timpang, karena tidak semua orang bisa mengaksesnya ataupun
melakukannya. Terlibat dalam jurnalisme warga membutuhkan biaya dan kemampuan yang
tidak dimiliki semua orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang punya modal yang bisa melakukannya.
Hingga kini, praktik jurnalisme warga masih bisa dilihat. Bahkan media media pers profesional turut memberikan ruang bagi warga dalam menyampaikan informasi. Ada
Kompasiana, NET CJ yang tampil di berbagai program berita di NET TV, dan Metro TV juga masih mengelola konten jurnalisme warga meski Wide Shot tak lagi tayang. Tempo.co sempat
menyajikan Tempo SMS untuk mengakomodir informasi warga, juga Indonesiana sebagai wahana bagi warga dalam menyampaikan beragam konten, termasuk konten jurnalisme warga. I
ndonesiana masih ada hingga kini, sementara Tempo SMS sudah tidak berjalan lagi (meskipun begitu, tampilannya masih tetap ada di dalam Indonesiana). Radio Republik Indonesia (RRI) juga sempat menggarap RRI 30 Detik. Program tersebut gagal berjalan karena kurang disiapkan dengan baik (Rohmatulloh & Yudhapramesti, 2019). Konten jurnalisme warga ditampilkan
dalam sebuah kanal atau program khusus, atau jika memiliki modal yang besar media pers dominan akan menjadikannya sebagai unit bisnis sendiri (seperti Kompasiana). Tapi, sebenarnya sejak kapan jurnalisme warga dan praktik yang menyerupainya mulai muncul, baik di dunia maupun di Indonesia? Apa yang melatarinya? Soal ini, dari hasil penelusuran peneliti, cukup beragam.
Perbincangan soal jurnalisme warga memang telah banyak muncul di berbagai jurnal, termasuk membahas awal mula dan dinamikanya.
Artikel ini bertujuan memberikan cara pandang lain dalam melihat awal kehadiran jurnalisme warga. Peneliti berupaya memberikan alternatif pijakan untuk memahami sejak kapan sesungguhnya praktik-praktik seperti jurnalisme warga telah berkembang sebelum akhirnya menjadi masif seperti saat ini dan kepentingan apa saja yang melatarinya.
Harapannya, temuan ini bisa membantu, sedikit-banyak, memahami ulang pondasi dalam memahami jurnalisme warga.

