Korsa Untuk Munarman Sebut Densus 88 Melanggar HAM

JAKARTA — Kelompok Solidaritas Advokat (Korsa) untuk Munarman mengecam keras penangkapan eks Sekum FPI tersebut oleh Densus 88 Antiteror. Mereka menilai, penangkapan tersebut jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Penegakan hukum tindak pidana terorisme dan penangkapan terhadap Munarman terlalu prematur, dan terkesan sangat dipaksakan; bahwa benar tindak pidana terorisme sebagai extra ordinary crime, akan tetapi upaya tersebut wajib tetap menghormati hukum dan menjunjung tinggi harkat martabat sebagai manusia,” bunyi pernyataan Korsa untuk Munarman dalam rilis persnya, Kamis (29/4/2021).

Menurut kelompok yang terdiri dari 56 advokat terkenal dari seluruh daerah di Indonesia itu, tindakan aparat Kepolisian, termasuk Tim Densus 88 Antiteror sangatlah sewenang-wenang. Mereka juga menilai bahwa upaya paksa penangkapan dan penyitaan barang yang dilakukan terhadap Munarman telah menyalahi prosedur, prinsip hukum dan dilakukan secara represif adalah merupakan preseden buruk yang tidak perlu dipertontonkan.

“Dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam peristiwa penangkapan Munarwan setidaknya telah melanggar Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, menyatakan: bahwa pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindakan Pidana Terorisme yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia,” lanjut pernyataan tersebut.

Berikut pernyataan lengkap dari Korsa untuk Munarman:

  1. Bahwa, persangkaan dan upaya paksa penangkapan yang dilakukan terhadap Sdr. Munarman, atas dugaan melakukan kejahatan Terorisme adalah merupakan tindakan sewenang-wenang, melanggar hukum dan HAM. Sikap tidak profesional Aparat Kepolisian (POLRI) dan patut diduga sebagai upaya kriminalisasi terhadap diri Sdr. Munarman; Peristiwa penangkapan tersebut juga telah melanggar ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan
    Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
  2. Bahwa, quad non kepolisian sangat berkeyakinan Sdr. Munarman cukup bukti melakukan kejahatan terorisme tidak berarti Densus 88 Anti Teror berhak untuk melakukan tidakan yang tidak berprikemanusiaan dalam menangani perkaranya dengan melanggar ketentuan serta prinsip hukum dan HAM, termasuk melanggar prosedur hukum acara (KUHAP dan UU Tindak
    Pidana Teroris), terutama prinsip Due Process of Law yang menekankan prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur” (fair manner) dan “benar”.
  3. Bahwa, selain itu proses penyidikan dan tindakan paksa yang dilakukan tidak dibarengi dengan pemberian hak-hak kepada tersangka. Dimana tersangka dan keluarganya tidak diberikan hak untuk mendapatkan infromasi, serta hak atas bantuan hukum (Penasehat Hukum). Tindakan ini jelas bertentangan dengan Prinsip hukum dan HAM, sebagaimana dimaksud didalam Miranda Rule.
  4. Bahwa penangkapan terhadap Sdr. Munarman bertentangan pula dengan tugas dan fungsi Polri sebagai perlindung, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta kewajiban untuk
    menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM. Hal ini jelas diatur dalam UU Kepolisian dan Perkap No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam
    penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia terutama Pasal 11 ayat (1); Sehingga karenanya, tindakan penangkanpan tersebut dilakukan tidak berdasar pada bukti
    permulaan yang cukup.

“Atas penjelasan di atas Kelompok Solidaritas Advokat (Korsa) untuk Munarman mengecam tindakan penangkapan oleh Densus 88 Antiteror, yang dilakukan secara sewenang-wenang dan dengan
kekerasan terhadap Sdr. Munarman. Kelompok Solidaritas Advokat (Korsa) untuk Munarman, mendesak pihak Densus 88 Antiteror dan Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk segera membebaskan sudara Munarman demi hukum, memberikan
akses informasi serta menghormati hak hukum,” tutupnya.(Red)

Tinggalkan komentar