Code Red, FPI Akhirnya Mengeluarkan Pernyataan Soal Dibunuhnya KH Cecep Bustomi

JAKARTA — Front Pembela Islam (FPI) akhirnya mengeluarkan pernyataan
soal dibunuhnya KH Cecep Bustomi, Pangliam Front Hisbulah yang bermarkas di Pandeglang, Banten, Jawa Barat. Menurut FPI, KH Cecep, anak kiai kondang Banten, KH Bustomi, dibunuh oleh sepasukan Kopassus Grup II/ Parakomando, Serang. KH Cecep Bustomi adalah salah seorang pendiri FPI, sebuah organsasi Islam garis keras yang didukung kelompok militer pro Soeharto.

FPI mengajukan bukti baru namun hanya Wakil Komandan Kopassus Grup
II/Parakomando yang mengetahui keberadaan KH Cecep di Serang pada saat ia dibunuh.

“KH Cecep ke Markas Kopassus Serang karena panggilan pihak Kopassus,” ujar Habib Rizieq Shihab pada, Minggu (20/8/2000).

Diketahui, KH Cecep dibunuh beberapa pekan lalu di Serang, Jawa Barat, selepas bertemu dengan sejumlah perwira di Markas Grup II/Kopassus, Serang.

Saat keluar dari Markas Kopassus, sejumlah lelaki bertopeng, bersepeda motor dan bersenjata mencegat mobil Cecep dan
memberondongnya. Sopir Cecep, Mardiyanto tancap gas, dan sepasukan lelaki bermotor itu mengejar dan di depan Pasar Serang, berondongan peluru mengakhiri hidup kiai itu.

FPI mengkaitkan pembunuhan Cecep dengan terbunuhnya seorang prajurit Kopassus dalam penyerangan pasukan Front Hisbulah di sebuah perhelatan di Serang. Prajurit Kopassus yang hendak mengusir Front Hisbulah itu dari perhelatan yang tuan rumahnya masih saudara sang prajurit, Ia tewas dengan luka yang mengenaskan. Dan, ini tak bisa diterima orang-orang Kopassus.

Bagaimanapun, Grup II/Kopassus memang pantas jadi tersangka dalam
kasus pembunuhan, atau lebih tepat pembantaian kiai itu. Ada motif
yang kuat dan ada kemampuan untuk melakukannya karena merupakan prajurit para komando. Dan, yang paling penting, hanya satuan-satuan TNI yang masih punya mentalitas prima yang berani melakukan pembantaian ini.

Pembantaian ini pun mengingatkan kita pada istilah code red dalam satuan marinir militer Amerika Serikat. code red adalah operasi yang dilakukan amat rahasia, bukan untuk kepentingan negara, namun untuk kepentingan korps.

Apa yang dimaksud dengan code red ini misalnya bisa ditonton di film A Few Good Men, yang dibintangi Demi
More dan Tom Cruise.

KH Cecep tampaknya memang menjadi target operasi code red Kopassus Grup II/Parakomando, berkaitan dengan terbunuhnya seorang prajurit Kopassus di tangan anak buah Cecep. Selain Cecep, tampaknya Habib Soleh Abdulah, salah seorang sesepuh FPI juga menjadi target operasi code red dari satuan lain di TNI.

Habib Soleh ditembak mati oleh dua pria tak dikenal di depan masjid dekat rumahnya di Cempaka Putih. Keluarganya mengkaitkan dengan konflik tanah warisan. Namun motif itu kurang kuat.

Yang patut juga disimak, FPI memiliki musuh yang banyak karena kegemaran kelompok ini merusak kafe, diskotik, hotel dan tempat hiburan lain yang dinilai ini sebagai tempat maksiat. Salah satu
musuh potensial FPI ya siapa lagi kalau bukan tentara yang membekingi bisnis ini.

Lalu dapat disimpulkan musuh lain FPI adalah para “profesional” yang disewa para pemilik modal untuk sekedar memberi warning atau bahkan untuk memberesi para pimpinan FPI.

Pantas diingat, sebelum Habib Soleh dibunuh, FPI melakukan perusakan
di sejumlah kafe di Kemang, Jakarta Selatan, seperti kafe Jimbani,
kafe Salsa. Kafe Jimbani adalah kafe milik mantan istri Oky Hanoko
Dewantono yang selama ini dibekingi anggota Marinir TNI-Angkatan Laut.

Marinir marah ketika polisi mengerebek kafe itu. Buntutnya, Polsek Mampang, diserbu sepasukan pria yang diyakini dari satuan marinir. Dua polisi dan seorang Kamra luka-luka kantor Polsek hancur berantakan.

Tampaknya Polsek Mampang jadi target code red oleh satuan rahasia
Maninir. Itu yang tampaknya terjadi, karena pasukan yang menunaikan
tugas korps itu dilindungi para komandannya.

Namun, tak lama, pasukan FPI datang ke kafe Jimbani. Mereka dengan
kemarahan yang meluap menghancurkan kafe yang juga jadi sumber pendapatan sampingan para prajurit Marinir TNI-AL yang gajinya dari dinas tentata memang mepet untuk hidup. FPI menuduh kafe itu kafe maksiat. Kafe itu, untuk sekian lama tidak beroperasi. Dan, ini
artinya, para prajurit Marinir kehilangan sebagian pengahasilan
sampingan itu. Nah, apakah dibunuhnya Habib Soleh Abdulah, salah satu anggota senior FPI, berkaitan dengan operasi code red Marinir TNI-AL?

Bisa saja. Namun, pertanyaannya mengapa yang dibunuh Habib Soleh dan bukannya Habib Rizieq Shihab, Panglima FPI, sebagaimana Kopassus
menghabisi Panglima Front Hisbulah? Bisa jadi Marinir tak sekejam
Kopassus. Dipilihnya Habib Soleh hanya semacam ancaman, jangan
melakukan perusakan lagi terhadap tenmpat-tempat hiburan.

Bermusuhan dengan Kopassus, atau tentara pada umumnya sebenarnya bukan kehendak FPI dan Front Hisbulah. Dua organsasi ini, di masa lalu, adalah organisasi yang dekat dengan mantan Komandan Jendral Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. FPI dan Front Hizbullah juga dekat dengan sejumlah jendral seperti Letjen TNI Djaja Suparman, mantan Pangdam Jaya dan Pangkostrad, lalu Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zien dan Brigjen TNI (Purn) Adityawarman dua nama terakhir ini adalah jendral yang dekat dengan Prabowo.

Bagaimanapun, FPI dan Front Hisbulah bukanlah organisasi keagamaan yang populer di masyarakat. Sehingga terbunuhnya KH Cecep Bustomi dan Habib Soleh Abdulah, tidak menjadi perhatian yang layak oleh masyarakat. (IbnuFerry)

Pos ini pernah terbit di media kobarkan.com pada Ahad (21/8/2000) di tulis oleh M. Ibnu Ferry.

Tinggalkan komentar